Thursday, July 3, 2008















'Anak Berambut Gimbal Bukan Gaya Rambut'


Di dunia kontemporer, rambut gimbal bias dianggap tren mode. Gaya rambut pilin ini dapat dibentuk di salon dalam waktu relatif singkat. Biayanya pun cukup mahal. Tak jarang pula yang menilai rambut gimbal sebagai ungkapan rasa seni pemiliknya. Tapi, rambut gimbal bukan merupakan tren mode bagi masyarakat di Dieng, Jawa Tengah. Rambut gimbal dikawasan itu memiliki arti istimewa.Dataran tinggi Dieng memiliki keunikan, yakni sebagian warganya berambut gimbal. Kebanyakan pemilik rambut gimbal itu adalah anak-anak. Mereka tidak pergi ke salaun untuk membuat rambutnya gimbal. Anak-anak ini berambut gimbal secara alami.

TITISAN
Anak berambut gimbal di Dieng sering di sebut “anak gember” atau “anak bajang”. Konon, anak berambut gimbal merupakan titisan seorang tokoh yang sakti mandraguna. Kyai kaladate namanya. Tak heran bila anak berambut gimbal dipercaya memiliki “kelebihan” disbanding anak sebayanya yang berambut normal.

Dahulu, menurut cerita, Kyai Kaladate pernah menjadi kebayan di desa Kalibeber, Kecamatan Mojo Tengah, di Dataran tinggi Dieng. Kyai ini memiliki rambt gimbal sejak lahir hingga ia wafat. Saat menjelang ajal, ia menitipkan kepada anak cucunya agar mewarisi rambut gimbalnya itu.

Versi lainnya berkembang di daerah Wadas Lintang. Berdasarkan cerita ini, Nyi Roro kidul sangat terganggu dengan adanya rambut manusia yang rontok karena disisir, dan lalu dihanyutkan ke laut selatan. Nyi Roro Kidul memerintahkan abdinya untuk membersihkan dan memungut rambut-rambut itu dari laut. Rambut-rambut itu lalu dititipkan pada anak-anak di daerah pegunungan Dieng. Rambut ini akan diambil kembali jika orang tua si anak memennuhi permintaan Nyi Roro Kidul yang diucpkan melalui anak gembel.

SAKIT
Rambut gimbal pada anak tidak muncul sejak lahir, melainkan setelah anak berumur 40 hari ke atas. Tidak mudah untuk memiliki rambut gimbal. Si anak harus sakit terlebih dahulu sebelum gimbalnya tumbuh. Ugh…

“Badan saya panas selama tiga hari sebelum rambut saya berumah menjadi gimbal. “imbuh Vika Barorotul Risalati (7 tahun), seorang anak berambut gimbal.

Sebenarnya, tidak semua masyarakat Dieng yang berambut gimbal adalah anak-anak. Kinah (50) bias menjadi contoh. Rambut Kinah menjadi gimbal tatkala ia sudah menginjak usia kepala empat. Nasiyah, adik Kinah, bercerita perubahan rambut Kinah diawali ketika rencana pernikahan kakanya batal.

“Entah kenapa, sejak itu rambut kakak saya menjadi giimbal,” lanjut warga Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar, Wonosobo ini.

Sejumlah anggota masyarakat telah berusaha untuk mencegah anak atau anggota keluargganya berambut gimbal. Misalnya dengan mencuci rambut gimbal tiap hari dengan sampo atau merang yang dibakar, mencukur rambut sedini mungkin, dan sebagainya. Tapi, usaha ini seringkali tidak berhasil.

Cara yang efektif untuk menghentikan pertumbuhan rambut gimbal adalah melalui ruwatan. Tapi, ini ada syaratnya. Si pemilik rambut gimbal harus bersedia dipotong rambutnya. Selain itu, pemilik rambut gimbal juga mengajukan permintaan sesuatu kepada keluarganya. Permintaan ini harus terpenuhi. Jika tidak, meskipun rambut gimbal telah dipotong, maka selanjutnya rambut-rambut itu akan tumbuh kembali.

Rambut gimbal di Dieng bukan merupakan budaya kagetan. Masyarakat Dieng tidak latah mengikuti gaya rambut yang lazim disebut dreadlocks ini. Alhasil, adapt memelihara rambut gimbal di Dieng merupakan ungkapan spiritualitas tradisional.


















'PURWACENG VIAGRA asli Dieng'


Dataran tinggi Dieng yang sejuk dengan pemandangan indah ternyata menyimpan sebuah rahasia.
Yap, rahasia itu mengenai sebuah obat kuat yang sudah dipercaya secara turun temurun.
Purwaceng namanya. Manfaatnya mirip dengan viagra, yakni menyembuhkan disfungsi seksual.

KARAKTERISTIK
Purwaceng (Pimpirella Pruatjan) adalah tumbuhan jenis perdu. Purwaceng merupakan tanaman
herbal tahunan yang bersifat aromatis. Tenaman tersebut hanya bisa tumbuh subur dan berkembang
pada dataran pegunungan, dengan ketinggian minimal di atas 2.000 meter di atas permukaan
laut (dpl). Nah, kondisi geografis Dieng sangat memungkinkan tumbuhnya tanaman ini. Namun,
unsur lainnya yang harus diperhatikan adalah jenis tanah, kelembaban, dan cuaca. Oleh sebab
itu, tanaman ini tidak bisa tumbuh di seluruh kawasan Dieng. Purwaceng hanya tumbuh subur
di lokasi tertentu, seperti Gunung Pakuwojo atau Gunung Perahu.
Secara fisik, wujudnya seperti rumput. Daunnya bulat kecil-kecil berdiameter 0,5cm, dan hidup
bergerombol setinggi 20-30cm. Batangnya dapat memanjang mirip pohon rambatan. Bagian Purwaceng
yang di manfaatkan adalah daun dan batangnya.
Usia panen Purwaceng antara delapan sampai sepuluh bulan. Masa panen tanamana ini ditandai
dengan keluarnya umbi. Jika tanaman belum berumbi, menandakan usianya masih muda dan kualitasnya
masih kurang bagus.

KHASIAT

khasiat Purwaceng tidak kalah dengan ginseng yang berasal dari Korea (Panax Gingseng), atau
pasak bumi (Eurycoma Longifolia Jack) yang berasal dari Amuntai Kalimantan Selatan.
Purwaceng memiliki kandungan sejumlah zat, seperti triterpenoid-steroid, sitosterol, dan stigmasterol,
yang memiliki fungsi utama meningkatkan fertilitas spermatozoid. Tambah lagi senyawa afrodisial
di dalamnya. Afrodisial diyakini dapat membangkitkan hormon seksual. Tanaman ini juga mempuanyai
kandungan senyawa pergaphen dan iso pergaphen yang berfungsi meningkatkan stamina tubuh.
Senyawa diuretik juga bisa ditemui di dalamnya. senyawa tersebut mampu melancarkan air seni,
peredaran darah, menghangatkan dan menyehatkan tubuh. Purwaceng baik dikonsumsi oleh laki-laki,
wanita dan anak-anak sekalipun. Namun, wanita hamil sangat tidak dianjurkan mengkonsumsinya.

Tanaman ini bisa dijual baik dalam keadaan kering atau basah. Penyajiannya sering dicampur dengan kopi,
susu, teh atau rempah-rempah. Purwaceng juga bisa dijadikan bahan baku jamu. Selain itu, ada pula\
yang menjualnya dalam betuk serbuk atau kapsul. Harganya bervariasi, mulai dari Rp 3.500,- sampai
ratusan ribu. Yang pasti, harga Purwaceng kering bisa dua kali lipat lebih mahal daripada Purwaceng basah.

Harga Purwaceng juga dipengaruhi dari usiianya. Makin tua, biasanya akan semakin mahal. Purwaceng yang
berusia 10 tahun, misalnya, harga perbungkusnya (bobot sekitar 20 gram) dapat mencapai Rp 500.000,-

"Makanya harga Purwaceng ini sangat tergantung pada usia. Semakin tua, khasiatnya semakin baik, dan dapat
diseduh sampai ratusan kali," ujar Hamid, seorang pengusaha Purwaceng.
Saat ini Purwaceng telah dibudidayakan. Pasarnya tidak hanya lokal, tapi sudah merambah ke luar negri,
seperi Jepang dan Korea.










'Ayam Tangkap'


Mendapatkan undangan dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias mengunjungi Banda Aceh 3-6 desember lalu,
Saya tidak melewatkan untuk menikmati makanan yang sedang naik daun, Ayam Tangkap.

Tiba di Rumah Makan Ayam Tangkap Cut Dek di Jl. Lambaro, aceh Besar, saya langsung disajikan makanan yang rupanya lebih
mirip dengan tumpukan sampah. Ternyata iinilah Ayam Tangkap itu. Sebuah piring dengan gundukan dedaunan ditambah bebrapa potong cabai hijau terhampar dihadapan saya. Mencari ayam diantara tumpukan dedaunan menjadi seni tersendiri dalam menikmati Ayam Tangkap. Kemampuan menangkap ayam di antara gundukan dedaunan tersebut menjadi keunikan makanan khas Aceh ini sehingga dinamakan Ayam Tangkap.

Sajian ini akan lebih nikmat bila menggunakan ayam kampung. Proses pembuatannya dimulai dengan memotong ayam hingga sebesar ibu jari orang dewasa. Setelah itu, potongan ayam dilumuri dengan bumbu yang telah ditumbuk sebelumnya. Bumbu yang digunakan yaitu bawang putih, lada, kemiri, jahe, dan garam. Potongan ayam yang sudah dibumbui kemudian digoreng sekitar 5-10 menit. Pada saat bersamaan, beberapa genggam daun pandan dan salam koja dimasukkan ke dalam wajan sama yang sama. Hal ini dilakukan agar rasa daun tersebut meresap ke dalam daging ayam yang akan disajikan. Dedaunan ini pula yang kemudian menutupi sajian ayam tangkap di setangkap piring. Dedaunan ini pun dapat dinikmati sebagai lalapan kering pelengkap potongan ayam, bak kerupuk dari daun.

Menikmati Ayam Tangkap lengkap dengan bumbu-bumbunya benar-benar puas. Harga satu porsinya antra Rp 100-140 ribu. Satu
porsi cukup untuk dinikmati dua sampai empat orang sekaligus. jadi, jika sudah tiba di Banda Aceh, jangan pernah lupa
menikmati Ayam Tangkap.

Rasanya tidak lengkap berada di Aceh bila tidak menikmati Mie Aceh. Mie Aceh yang cukup terkenal adalah Mie Aceh Razali. Di sana yang paling ditawarkan adalah Mie Aceh Kepiting dan Mie Aceh Udang. Mienya disajikan dalam bentuk mie goreng, rebus, atau basah (tidak terlalu kering dan basah). Aromanya begitu menggoda dan menggairahkan. Rasanyan gabungan antara pedas dan sedikit manis. Kuahnya pun kental yang berasal dari rempah-rempah asli rahasia leluhur bangsa. Harga satu porsinya ialah Rp 25 ribu per posri. Mie Aceh Razalai sering dipadati pengunjung, terlebih di akhir pekan. Tak heran kedai makanan ini mempunyai omzet sekitar Rp 3-4 juta rupiah per hari. Alhasil, Anda tidak akan terpuaskan jika belum menyicipi sendiri citarasa Aceh dalam sepiring mie.

Saturday, May 10, 2008

Menembus Relung Imajinasi















Ia memancing decak kagum siapapun yang menoleh kearahnya. Dirinyaa membuat pusatan cahaya mata tidak terbias ke arah lain mata angin. Sketsa alam nan memikat pun tergelar. Oh, Dieng…kau mampu melabungkan imajinasi dalam ketakjuban magis.

Pada pandangan pertama, kesemarakan alam Dieng sudah memikat mata. Penat karena harus duduk melipat kaki di angkutan umum perlahan hilang, berganti kesejukan saat saya memasuki Dieng. Deretan gunung membentang, ladang hijau terhampar, dan
kabut tipis berjalan merangkak membuat saya terpana. Sungguh, citra elok Dieng terlalu menggiurkan untuk dilewatkan.
Sensai Dieng sesuai dengan namanya. Kata Dieng bisa dirunut dari berbagai sumber. Dari bahasa Jawa kuno, asal kata dieng adalah dihyang yang berarti kahyangan'. Dalam bahasa Sunda kuno. dieng merupakan akronim dari dua kata, yakni di dan hyang.
Di bermakna 'tempat yang tinggi' atau 'gunung'. Hyang artinya, para dewa-dewi'. Maka Dieng berarti 'pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam'. Namun, ada juga yang menyebut dieng dari kata adi dan aeng. Adi bermakna 'indah', sedangkan
aeng mengandung arti mengagumkan. Kalau keduanya digabungkan, dapat diartikan sebagai 'tempat di kahyangan yang indah dan mengagumkan'. Kata dieng boleh saja berasal dari beraneka sumber. Yang jelas, dieng merujuk pada suatu pesona yang luar
biasa indahnya.

Dieng adalah sebuah dataran di pegunungan (plateau). Letaknya di perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah. Kawasan ini berlokasi sekitar 26 km di sebelah utara Wonosobo dan 55 km arah timur laut Banjarnegara.
Luas Dataran Tinggi Dieng 619,846 hektar. Ia dikelilingi gugusan gunung, antara lain Gunung Sumbing (3.377 m), Gunung Sindoro (3.151 m), Gunung Perahu (2.565 m), Gunung Bismo (2.365 m) dan Gunung Rogojembangan (2.365 m). Dieng berada diketinggian
2.093 m di atas permukaan laut (mdpl). Suhu di Dieng sejuk mendekati dingin. Temperatur berkisar 15o sampai dengan2 0oC di siang hari dan 10oc di malam hari.
"Pada bulan Juli sampai Agustus suhu udara disini terkadang dapat mencapai 0oC di pagi hari. Salju tipis pun turun dari langit," ujar Rohmat, seorang warga setempat.
Penduduk setempat menyebut suhu extrim itu sebagai bun upas yang artinya 'embun racun' karena embun ini menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.

LUAR DALAM

Saat juga mentari belum bangun dari dekapan selimut kaki langit timur, saya memulai perjalanan mengelilingi Dieng. Ditemani seorang pemandu, saya menyambangi Bukit Sikunir untuk melihat matahari terbit. Wow saya sampai menahan napas karena takjub
melihat mentari 'lahir' dari ufuk timur. Sisa kantuk sekejap lenyak ditelan pemandangan memukau di hadapan.

Kesabaran saya diuji untuk melihat pesona alam berikutnya, yakni telaga. Dieng dikaruniai sejumlah telaga memesona. Mata saya tersangkut pada sebuah telaga yang memantulkan aneka warna indah. Namanya Telaga Warna. Telaga ini memiliki tiga warna.
Kandungan sulfur didalamnya membuat telaga ini berwarna kehijauan, gangang merah membuatnya berwarna merah, dan air jernihnya memantulkan warna langit biru. Alhasil, telaga warna terlihat anggun dengan latar belakang Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Hanya berjarak selemparan batu dari Telaga Warna, terdapat Telaga Pengilon. Telaga ini disebut juga Telaga cermin. Sementara itu, telaga terluas di Dieng adalah Telaga Merdada. Luasnya sekitar 25 hektar dengan kedalaman dua hingga sepuluh meter.
Yang satu ini bukan telaga meski wujudnya mirip. Sumur Jalatunda sebutannya. Sumur ini merupakan kepundan gunung berapi yang meletus dan menjadi sumur. Sumur ini berdiameter 200m dam kedalamannya sekitar 100 m. Lubang alam ini memiliki satu keistimewaan,
yakni volume airnya yang selalu tetap. Ia tak pernah kering maupun meluap walau dalam keadaan cuaca apapun.
Gejala pascavulkanisme dan sumber panas bumi (geotermal) juga terdapat di Dieng. Tak heran mengingat Dieng memiliki sejumlah kawah. Salah satunya ialah Kawah Sikidang. Ia merupakan kawah vulkanik dengan lubang kepundan yang dapat disaksikan dari bibir kawah.
Tidak aneh bila aroma belerang pun serta merta menyeruak. Letak kawah ini sekitar 1 km dari Telaga Warna. Dahulu, kawah ini merupakan kawah kecil. Namun, lambat laun kawah ini menjadi banyak seperti melompat-lompat. Maka, kawah itu dinakaman Si Kidang
(sejenis binatang yang lincah seperti kijang) oleh penduduk sekitar.

Ada pula kawah yang biasanya menjadi tempat digelarnya upacara ruwatan 1 Syuro, yakni Kawah candradimuka. Pemunculan solfatara berupa gumpalan asap putih dapat ditemui dikawah ini. Aduhai! Hati saya terkesima memandangi Kawah Sileri. Kawah ini merupakan
kawah terluas di Dataran Tinggi Dieng yang mesih aktif. Luasnya mencapai dua hektar. Air kawahnya gemulak dan mendidih persis seperti bekas cucian beras atau leri. Karena itu, kawah ini bernama Sileri.
Tidak jauh dari sana, Air Panas Bitingan dan Curug Si Rawe pun bisa dinikmati keindahannya. Ada pula sebuah mata air dengan pancuran yang terbuat dari batu purba. Namanya adalah Tuk Bimolukar.

Agrowisata juga terdapat di Dieng. Lokasinya diperkebunan Teh Tambi. Perkebunan ini terletak di lereng Gunung Sindoro, sekitar 800-1.800 mdpl. Teh Tambi sedikit berbeda dengan teh kebanyakan, yakni berwarna hitam kecoklatan. Tak heran teh ini disebut juga teh
hitam (black tea). menyeruput teh hangat di pagi hari yang masih diselimuti udara dingin membawa kenikmatan tersendiri. Apalagi ditemani dengan kicau burung-burung.

Kekayaan alam Dieng tidak hanya tampak dipermukaan bumi. Jauh di dalam bumi, Dieng pun mempunyai potensi menjanjikan, yakni energi panas bumi. Panas bumi inilah yang dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik. Mistisme juga masih terasa di Dieng. Hal ini terlihat
dari sejumlah gua yang sering dijadikan tempat untuk bersemedi. Gua tersohor di Dieng adalah Gua Semar. Panjang Gua ini sekitar 4 meter dengan dinding batu. Di sampingnya, terdapat Gua sumur dan Gua Jaran. Di dalam Gua Sumur ini terdapat sumber air suci yang
disebut Tirta prawitasari. Di lokasi inilah umat Hindi biasanya mengadakan ritual yang disebut Muspe atau Mubakti.

Dieng juga dihiasi dengan berbagai flora mengagumkan. Pepohanan pinus terlihat menjulang dikejauhan dengan pucuknya yang seolah hendak menusuk awan. Hamparan ladang kentang dan kol menarik mata untuk meliriknya. Deretan pohon Strawberry dan bunga edelweiss
tak hentinya menebar senyum. Belum lagi keunikan tanaman yang jarang terdapat di daerah lain, seperti carica dan purwaceng. Tanaman inpor, seperti Wasabi asal Jepang, pun bisa tumbuh subur di ranah Dieng.

KREASI MANUSIA

Dieng tidak hanya bermodalkan pesona alam. Karya adiluhung manusia pun terlihat di sini. Sejumlah candi kuno bertebaran. Candi-candi di Dieng dipercaya sebagai tanda awal peradaban Hindu di Pulau Jawa yang terbentuk sekitar abad ke-8. Candi-candinya diberinama
sesuai dengan nama tokoh-tokoh wayang dari kisah legenda Mahabrata.

Candi Pandawa Lima terdiri atas lima buah candi yang tersusun dua deret. Empat candi menghadap ke barat, yaitu Candi Puntadewa, Sembadra, Srikandi, dan Arjuna. Tepat dihadapan Candi Arjuna terdapat sebuah candi yang berukuran lebih kecil, yakni Candi Semar. Selain itu,
ad pula Candi Gatotkaca di sebelah barat kelompok Candi Pendawa Lima di kaki Bukit Pangonan. Sekitar 1 km dari Candi Gatotkaca, terletak Candi Bima. Tak ketinggalan, berlokasi paling utara di antara candi-candi lainnya, berdirilah Candi Dwarawati di Bukit perahu.

Menjejakkan kaki di pelataran candi-candi tersebut menimbulkan sensasi tersendiri. Angan pun melayang ke sebuah negeri khayalan. Kabut putih akan segera menyergap meski kita masih berada di kaki candi. Belum lagi udara dingin yang meninggigilkan sumsum. KOmbinasi
tersebut memberi kenangan eksotis sulit terlupakan. Dieng juga memiliki museum Purbakala. Cukup menoleh ke kanan dari Candi Bima, museum ini sudah terlihat. Di dalam museum ini tersimpan sekitar 100 buah arca, relief, komponen bangunan, dan prasasti. Dieng juga
memiliki Gardu Pandang Tieng. Berkolasi di ketinggian 1.800 mdpl, lokasi ini cocok untuk melihat lanscape Dieng dari ketinggian.

Perjalanan ini belum berakhir. Masih ada satu tempat yang belum dikunjungi, yakni Dieng Plateau Theatre (DPT). Bangunan ini merupakan pusat informasi potensi alam dan budaya kawasan Dieng. Di tempat ini, pengunjung bisa menyaksikan film semidokumenter tentang Dataran
Tinggi Dieng berdurasi 20 menit. Dieng Plateau Theatre terletak di lereng bukit Sikendi, tidak jauh dari Telaga Warna.

Salah satu hal menarik terlihat pada rumah penduduk, yakni berwarna hitam. Warna hitam ini berasal dari ter yang melapisi atap atau dinding rumah. Penggunaan ter bertujuan untuk mencegah karat dan menyerap panas matahari di siang hari. Jadi, saat malam hari suhu
di dalam rumah tersebut cukup hangat.

HARMONI

Itu semua belum cukup. Di Dieng, bisa dirasakan satu lagi sensasi yang semakin asing, yakni harmoni.
"The people are very friendly," imbuh Arens, seorang turis asal Jerman. Arens tak asal cuap. Memang, Keramahan penduduk setempat memberi kehangatan di tengah dinginnya udara Dieng.
"Mari makan bersama kami," atau "Jika berkunjung ke Dieng lagi, jangan sungkan mengunjungi kami," adalah kalimat yang sering terlontar dari penduduk setempat.

Tak terasa, perjalanan selama empat hari di Dieng segera berakrhir. Namun, kenangan yang tertanam tentangnya sulit terhapuskan. Sorot pesona Dieng mampu menembus jantung yang secepat mata berkedip berubah menjadi kagum. Saya pun takluk dalam impresi relung ketakjuban
romansa.

********************************************************************************

Penetrating The Depths of Imagination

Everyone who lays their eyes on it will surely click their tongue in amazement. It makes you unable to move your sight to other directions. Such alluring natural sketch is spreading out before you. Oh, Dieng…you are surely able to lift our imagination into a magical astonishment.

Even since my first sight, the splendor of Dieng panorama had already amazed me. The fatigue i suffered from the trip on public transportion where I had so sit with my leg folded along the way would then subdue, changed by the freshness I felt when entering the area of Dieng.
The lines of mountains and green field area spreading out. The crawling thin mist left me awed. Indeed, the beautiful image of Dieng is too tempting to be missed.
The sensation of dieng does match its name. The word of Dieng can be traced from various sources. In ancient Javanese language, the name Dieng comes from dihyang which means "kahyangan" ( abode of the Gods). In ancient Sundanese, the word dieng is the acronym of two words
namely di and Hyang. Di means " a high place or mountains, while Hyang means Gods, So Dieng means the mountains abode of the Gods. But some people believe that the word Dieng is derived from the words adi and aeng whereas adi means beautiful and aeng means astonishing.
As a whole, those two words would mean the beautiful and astonishing abode of the Gods. One thing is for sure, the word Dieng refers to an absolute beauty and charm.
Dieng is a plateau located at about 26 km north of Wonosobo and 55 km northeast of Banjarnegara, Central Java. The area is about 619.846 hectares wide. It is surrounded by a group of maountains, namely among others Mount Sumbing (3,377 m), Mount Sindoro (3,151 m), Mount Perahu
(2,565 m), Mount Bismo (2,365 m), and Mount Rogojembangan (2,365 m). It lies on 2,093 m above sea level. It has a fresh almost cold temperature, ranging from 15 Celcius Degries in the afternoon and 10 Celcius Degries at night.
"In the morning of July and August, the temperature can reach 0 Celcius Degries. We even sometimes can have a pouring thin snow, "says Rohmat, a local resident.
The locals call such extreme temperature as bun upas which means 'poisonous dew' since it could damage the agricultural crops.


IN OUT

I started my journey going around Dieng before the sunrise. Accompanied by a guide, I first stopped at Sikunir hill to see the sun rose. Wow, I couldn't help but holding my breath to see how the sun "was born" in the east. That amazing view had erased my sleepiness and brought all
my sense back. The next charm was the lakes. Dieng has somes beautiful lakes. One of them is Telaga Warna (colorful lake) which truly has three colors. The sulfur content brings the greenish color, the red algae creates red color while its clear water reflects the blue color of sky.
With that uniqueness,, and the back ground of Mount Simboro and Mount Sumbing, Telaga Warna really does look elegantly attractive.

Just a stone's throw away, we can find Telaga Pengilon. This lake is also called cermin Lake (Mirror Lake) due to its mirror like glittering. The biggest lake in Dieng is Telaga Merdada with 25 hectares wide and two to ten meters depth.
Another one is Sumur Jalatunda (Jalatunda well). It is not a lake tough it looks like a lake. This well is the crater of a volcano with the diameter of 200 m and 100 m depth. It has one special characteristic. Its water volume has never stayed the same. It has never been dried or overflowed
in any kind of weather.
The post-volcanism and geothermal symptom can also be found in Dieng since is still has some craters. One of the craters is Kawah Sikidang, a volcanic crater whose mouth can be seen from its lip with a verry strong smell of sulfur. It lies 1 km from Telaga Warna. This crater was once
only a small crater. But it began to increase in number as if it jumped out so then the locals call it Si Kidang (A kind of deer).
There is one crater which became the location of Ruwatan 1 Syuro ceremony that is Kawah candradimuka. Here, we can find the solfatara in the form of white smoke. I was also amazed by Kawah Sileri, the widest one (about 2 hectares) in Dieng plateau which was still active. It is called
Sileri because its boiling and bubbling water looks "leri" (rice water). Not far from it we can also enjoy the beauty of Air Panas Bitingan (Bitingan hot water) and Curug si Rawe. We can also see Tuk Bimolukar, a water spring with olden stone shower.
Dieng has agro tourism too, namely Tambi Tea plantation, located on the slope of Mount Sindoro, arround 800-1.800 m above sea level. it is called black tea due to its black color. You can feel its sensation when you have it warm in the freezing morning with the singing birds around you.

As a metter of fact the natural resources of Dieng can be found not only the surface buy also in the deep down of the earth. Its geothermal content can be utilized as the power plant.
another uniqueness of Dieng is that you can feel its mythical nuance. There are several caves which are often used as the famous one is Gua Semar (Semar Cave). It is 4 meters long with stone wall. Next to it are Gua Sumur and Gua Jaran. Inside of Gua Sumur, we can find the source of
holy water named Tirta Prawitasari. At this place the Hindu people witt usually hold their religious ritual, muspe or mubaki. Besides all that, Dieng has a various fascinating flora. The Pine trees can be seen from distance, erecting to the sky. The Potato and cabbage field looks so nice,
strawberry and edelweiss as well. Not to mention the rare plants like carrica and Purwaceng which you can hardly find in other areas. Even the wasabi, the imported plant from Japan are grown well here.


HUMAN CREATION
In Dieng you can see not only the natural beauty, but also the masterpiece of human race. There is flourishing set of temples here, which are believed to be the mark of the beginning of Hindu culture in Java at around 8th century.
The temples were named after the main characters of the Puppet of legendary Mahabrata Epic. Candi Pendawa Lima consists of feive temples lying in two rows. Four of them, Candi Puntadewa, Sembadra, Srikandi and Arjuna, are facing west. Right in front of Candi Arjuna, there is a smaller
temple named Candi semar. Apart from them, there is Candi Gatotkaca in the west of the group of Candi Pendawa Lima. It is located on the foot of Pangonan Hill while Candi Bima is located around 1 km from Candi Gatotkaca. In the far north, in Bukit Perahu, we can see Candi Dwarawati.

It gives you such a thrilling sensation to step on the front yard of those temples as if you were in the fantasy place. The white mist will soon ambush you even when you are still in the foot of the temples. Not to mention the freezing air. All of them will give an unforgettable exotic memory.

An Archaeological museum can also be found in Dieng which you can see directly if you stand in Candi Bima. It has hundreds of statues, relief, building components and prasasti (historic inscription written on stone)

From Gardu Pandang Tieng, aroung 1.800 m above the sea level, you can see the whole landscape of Dieng. That not was not the end of my journey in Dieng. My last stop was Dieng Plateau Theatre (DPT). It is the centre of information about the natural resources and culture of Dieng. Here,
visitors can see the 20 minutes semi conductor film about Dieng Plateau. It is located on the slope of Sikendil Hill, not far from Colorful lake.

The locals' houses are also something worth seeing. The locals paint their houses black! It is the color of tar which is used to coat the roof and the wall to prevent them from being rusty. It is also able to absorb the heat at noon. That way, the temperature inside of the house remains warm.


HARMONY

Last but not least, In Dieng I can stell feel the existence of the getting hardly ever heard sensation, namely harmony. "The people are very friendly," says Arens, a German tourist. And he is absolutely right. The courtesy of Dieng people can warm your deepest heart. "Please come over for lunch
and dinner "or" please don't hesitate to see us when you happen to visit Dieng later again" are the common expressions from the locals for the visitors.

Finally, my four days journey in Dieng has ended. But its memory will stay in my heart. Its alluring charm has really amazed me and penetrated the depths of my romantic imagination.

Thursday, May 1, 2008

Suryanto, Pencipta Batik Banjarnegara




















Batik tidak mengenal batas kreasi, sebagai ragam hias, batik telah menginspirasi banyak orang
untuk berkarya. Pelbagai motif baru pun bermunculan. Biasanya, motif itu sesuai dengan latar belakang
asal batik. Nah, banjarnegara juga memiliki batik khas daerahnya.

Adalah Suryanto yang memperkenalkan batik Banjarnegara. Suryanto bercerita, sejak kecil dirinya sudah
tertarik pada batik. Namun, ia merasa miris Banjarnegara tidak memiliki ciri khas dalam batik yang
dikenalkan penduduknya. Suryanto tak tinggal diam. Beranjak dewasa, ia sering menghadiri pameran batik
dari berbagai daerah, seperti Banyumas, Pekalongan, Yogyakarta dan Papua.Ia juga mempelajari cara
pembuatan secara otodidak. Pada Desember 2005, ia mencoba berkreasi sendiri, modalnya kala itu hanya
Rp 500 ribu. Suryanto memaparkan, awalnya warga disekitar tempat tinggalnya bersikap acuh terhadap batik.
Namun, ia tak merisaukannya. Lambat laun, ternyata cukup banyak para remaja di lingkungannya yang tertarik
menggeluti batik.
Hasil kreasi Suryanto tak mengecewakan. Ia pernah menjadi juara pertama dalam lomba rancang busana batik
tingkat Kabupaten Banjarnegara. Untuk tingkat Provinsi Jawa Tengah, ia menjadi juara ketiga."Sejak itu,
batik buatan saya selalu dipesan para pejabat Pemkab Banjarnegara," Kata warga desa Gumelen Kulon,
Banjarnegara ini.

MOTIF

Suryanto mengutarakan, batik Banjarnegara memiliki keunikan pada motifnya. Ia meneruskan, motif batik
banjarnegara menggunakan elemen alam kawasan Dieng dan sekitarnya, seperti purwaceng, keramik klampok,
dawet ayu. Sementara teknik pembuatannya adalah tulis dan cap. "Seluruh pembuatannya menggunakan tenaga
manusia," imbuh pria kelahiran 4 Juni 1973 ini. Suryanto meneruskan, media membatiknya tidak terbatas
pada kain saja. Berbagai bahan pun bisa dibubuhi dengan hiasan batik, misalnya cenderamata yang terbuat
dari bambu. Batik kreasi Suryanto berlabel "Tunjung Biru". Harga jualnya berkisar antara Rp 150 ribu
s-d Rp 1 juta. Kini, perputaran uangnya sudah mencapai Rp 30-50 juta tiap bulannya.
Jumlah pekerja yang membantu usaha Suryanto saat ini berjumlah belasan orang. Tetapi, jika pesanan
yang masuk banyak, maka jumlah pekerjanya akan bertambah. Para pembelinya pun berasal dari berbagai daerah.

TOTALITAS
Usaha Suryanto untuk menyebarluaskan batik tak tanggung-tanggung. Ia memperkenalkan batik sampai ke sekolah-
sekolah. Hasilnya kini sejumlah SD di dekat tempat tinggalnya terdapat muatan lokal tentang batik.
"Bahkan sudah ada SD yang menggunakan batik buatan saya sebagai seragam sekolah," tambahnya.
Saat ini Suryanto telah memiliki sebuah showroom batik di daerah tempat tinggalnya. Rencanya,
ia hendak mendirikan dua showroom berikutnya di Jakarta dan Bekasi. Keyakinan Suryanto pun telah bulat
untuk mendalami batik secara total.

Sunday, April 20, 2008

OBYEK WISATA KAWASAN DIENG
















Letaknya memang berada di ketinggian. Namun, bukan berarti Dieng tidak mudah dicapai. Perjalanan ke Dieng bisa melalui dua sisi
daerah, yakni lewat wonosobo dan Banjarnegara. Waktu tempuh Wonosobo-Dieng sekitar satu jam lebih. Sementara itu, perjalanan
Banjarnegara-Dieng bisa memakan waktu kira-kira tiga jam.

Dieng bisa digapai dengan angkutan umum. Tarifnya Rp 5 ribu bila dari Wonosobo. Jika dari Banjarnegara, tarifnya Rp 10 ribu.
Dari perempatan lampu merah Wonosobo, Anda harus berganti bus. Kali ini dengan microbus dengan jurusan Dieng-Batur. Tarifnya
Rp 7 ribu. Perjalanan dengan microbus ini memerlukan waktu sekitar satu jam. Medan menuju Dieng Plateu tidak ringan. Jalannya
mendaki, berkelok-kelok dan kiri-kanan terdapat jurang cukup dalam. Itu belum cukup, kabut yang turun pun bisa membatasi jarak
pandang. Untuk itu, para pengemudi dituntut tak mengendurkan kewaspadaannya.

Perjalanan yang tidak mudah terbayar dengan pemandangan memesona Dieng. Rasa lelah pun sekejap memudar. Jangan khawatir kesulitan
mencari pondok wisata di Dieng. Sejumlah penginapan sekelas hotel atau home stay tersebar. Selain itu, beberapa agen travel atau
pemandu wisata pun siap melayani kebutuhan Anda. Pelbagai rumah makan pun tersedia untuk menambah kenyamanan Anda tatkala menjelajahi
kawasan yang sering disebut "negeri khayalan" itu.

DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN KABUPATEN BANJARNEGARA
Jl. Selamanik No. 35, Tlp. (0286) 592753

DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN KABUPATEN WONOSOBO
Jl. Kartini 3, Tlp. (0286) 321183

BANK RAKYAT INDONESIA DIENG
Tlp. (0286) 592824

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN WONOSOBO
Jl. Rumah Sakit No. 1 Wonosobo Jawa Tengah
Tlp. (0286) 320191, Fax. (0286) 323873

HOTEL
Hotel Gunung Mas
Jl. Raya Dieng No. 42
Tlp. (0286) 334217

HOME STAY
Dahlia
Dieng Kulon RT 01/II
Tlp. 085227268173

Edelwise
Dieng Kulon RT 03/I
Telp. 085227004505

RESTORAN
RM Padang, Jl. Raya Dieng

RM. Sumilah, Jl. Raya Dieng

RM. Sate Kelinci, Jl. Raya Dieng

AGEN TRAVEL
Permata Wisata, Jl. Raya Pucang

Susanto Tour, Jl. Raya Singomerto

Banyuu Wong Tour & Travel
Jl. Raya Sigaluh

DIENG
















Menembus Relung Imajinasi
Penetrating The Depths of Imagination


Ia memancing decak kagum siapapun yang menoleh kearahnya. Dirinyaa membuat pusatan cahaya mata tidak terbias ke arah lain mata angin. Sketsa alam nan memikat pun tergelar. Oh, Dieng…kau mampu melabungkan imajinasi dalam ketakjuban magis.

Everyone who lays their eyes on it will surely click their tongue in amazement. It makes you unable to move your sight to other directions. Such alluring natural sketch is spreading out before you. Oh, Dieng…you are surely able to lift our imagination into a magical astonishment.